Friday, January 30, 2009

Intan Kehilangan Kehidupan

“In, yang ini masih agak bagus. Mau kau simpan?” tanyaku kedua kalinya. Intan masih termenung. Dia terus memandangi foto yang dia pegang – fotonya di patung Liberty, perjalanan dia pertama kali ke luar negeri. Dia tidak mendengar pertanyaanku. Mukanya begitu lusuh. Capek, bingung, dan sedih bercampur satu. Bukan muka yang biasanya aku kenal – muka yang ceria dan penuh semangat, muka seorang yang sangat mandiri, muka pemimpin yang biasa mengarahkan anak-anak buahnya dengan tegas, termasuk kepadaku – seorang teman yang sekaligus menjadi anak buahnya beberapa waktu yang lalu.
Aku bisa mengerti perasaannya. Dia baru saja terkena musibah banjir. Kamar kostnya tergenang sampai selutut sementara dia sendiri sedang tertidur lelap. Banjir itu sendiri berlangsung begitu cepat. Hanya beberapa jam saja. Bukan karena hujan yang lebat, tetapi karena luapan air sungai yang mendadak. Dia tidak sempat lagi menyelamatkan harta bendanya.
Memang dia tidak kehilangan benda-benda “wah” seperti harta benda kebanyakan orang lain, tetapi benda-benda itu identik dengan dirinya: album foto. Dan bagi Intan, membereskan album foto itu sekarang jauh lebih menyedihkan daripada banjir itu sendiri. Melihat foto—foto yang rusak dan buram rasanya lebih menyakitkan dibandingkan kegelapan yang terjadi pada malam banjir itu. Kepedihan yang tidak terbayar dengan uang.
Aku memang mengenal Intan sebagai seorang yang sangat telaten di dalam mengatur album fotonya. Aku tidak pernah bosan-bosan melihat hasil karyanya. Ada cerita yang hidup di balik foto-foto itu. Dia memang menyusunnya dengan menarik. Dia membagi album-albumnya perjalananya menjadi dua bagian, luar dan dalam negeri. Dia juga memiliki album khusus untuk mengenang acara-acara bersama keluarganya. Ada satu album tebal yang dia sediakan untuk close up foto sahabat-sahabatnya sejak duduk di bangku SD dulu.
“Puput, sorry ya.., aku jadi menyusahkanmu,” tiba-tiba saja kudengar suaranya. Aku mengangguk menatapnya. Aku tidak punya kata-kata penghiburan yang cukup. Aku hanya dapat menemaninya membereskan barang-barang yang masih dapat diselamatkan. Dan malam ini, aku menemaninya menyortir foto-foto. Aaah…tapi tetap saja berbeda. Tumpukan foto-foto itu tiba-tiba menjadi bisu dan biasa. Tidak ada lagi rangkaian kata yang membuatnya menarik untuk disimak.
Intan memang punya cara istimewa di dalam menyusun fotonya. Misalnya saja, foto perjalanannya. Dia pasti menyertakan hal-hal yang unik. Ada peta perjalanan, ada keterangan mengenai tempat-tempat yang dia kunjungi yang dia ambil dari buku panduan wisata, ada kekhasan tiap-tiap tempat yang dia temukan seperti lubang telinga seorang nenek Dayak yang sangat panjang. Atau juga model rambut punk dan pakaian warna-warni yang dikenakan oleh anak-anak muda Jepang.
Dia juga tidak lupa untuk menyertakan potongan karcis kereta ataupun tiket pertunjukan yang istimewa baginya. Misalnya saja, ada karcis Eurorail yang melewati selat yang menghubungkan Inggris dan Perancis. Lalu ada tiket pertunjukkan “Miss Saigon” yang dia lihat di Broadway – pertunjukan drama pertama kali yang dia nikmati seumur hidupnya. Juga ada tiket “Schlinder’s List” di salah satu bioskop di Paris. Maklum, waktu itu, film tersebut dilarang diputar di Indonesia.
Selain itu, ada juga koleksi foto “kenakalan-kenakalannya” yang khas. Contohnya saja sebuah fotonya yang diambil di tengah jalan di Champ Ellese, sebuah jalan besar yang luar biasa ramai di Paris. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia difoto. Mungkin saja dia meminta pertolongan seorang polisi di sana. Fotonya yang lain, yakni ketika sedang berbaring santai dengan muka jenaka, sementara di belakangnya terdapat sebuah patung Budha yang juga sedang berbaring dengan arah berlawanan. Kalau dilihat, seakan-akan mereka berdua sedang bercengkrama mesra. Menurutku, yang paling “gila” adalah ketika dia difoto bersama seorang tentara penjaga pintu Istana Buckingham. Dia terlihat sedang menggoda tentara yang terkenal dengan gaya patungnya itu. Gayanya? “Mooning”!*
Dengan melihat albumnya, orang pasti akan mengenal dirinya dan juga karakternya. Dia seorang yang sangat detail. Salah satu kekhasannya adalah mengambil foto yang mungkin tidak terpikir oleh orang lain, tetapi menjadi begitu menarik dan vocal pada waktu dia merekamnya. Ada grendelan pintu dari gerbang The Forbidden City di Beijing, ada ujung genting berbentuk ayam yang dia ambil di Bali, ada tanaman liar yang tumbuh di antara lumut yang dia ambil di sebuah tembok tua di Toraja. Oh ya.., dia juga memiliki puluhan foto yang isinya cuma pintu-pintu rumah. Semua warna cat pintu itu berbeda, dan di dalam keterangannya, dia menulis: “Foto-foto ini aku ambil hanya di sebuah ruas jalan di kota Dublin. Bentuk rumah-rumahnya seragam, tapi setiap rumah pasti punya warna cat pintu yang berbeda. Apakah ini menunjukkan ciri khas kota itu, atau ciri khas pemiliknya yang tidak mau disaingi?”
Shhhh…., dia mengambil nafas panjang. “Puput, aku tidak sanggup lagi,” katanya. “Betapa lama waktu yang kuhabiskan untuk menyusun foto-foto itu. Bagaimana aku bisa mengulangnya lagi? Foto-foto itu gambaran hidupku, Puput,” sambungnya. Aku diam. Aku tidak sanggup memberikan komentar. Aku sadar nasihatku pun akan terdengar klise dan hambar. Aku juga tidak sampai hati untuk memintanya membuang beberapa lembar foto yang menurutku sudah buram termakan air. Bagi Intan, foto-foto itu adalah “roh”nya, cerita hidupnya, dan sekarang semua itu telah hilang. Malam itu Intan berusaha untuk mengambil sisa-sisa serpihan kehidupannya. Malam itu aku kehilangan. Kehilangan Intan yang aku kenal.


*Mooning: Menungging sambil memperlihatkan pantat telanjang.

Dimuat di Tabloid Spice - 2006

No comments: