Friday, January 30, 2009

Ayo Belajar dong, Nak.....!

Pernah mendengar istilah PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif & Menyenangkan)? Kita sangat ingin anak kita belajar dengan metode pakem, tapi di lain pihak, kita juga cenderung setuju kalau anak-anak kita 4 D di kelas (Datang, Duduk, Diam, Dengar).

Bagaimana memulai belajar kreatif secara sederhana?
Ada banyak pertanyaan ”mengapa” yang muncul di benak anak maupun orang dewasa. Kita cenderung memadamkannya karena takut dianggap aneh atau terlalu banyak bertanya. Untuk amannya, lebih baik menghapal saja. Jangan salahkan anak-anak bila mereka bosan dan malas belajar karena pelajaran menjadi sesuatu yang ’jauh’. Padahal rasa ingin tahu yang dikembangkan dan disalurkan dengan tepat akan membuat anak menjadi pribadi yang matang.

Kita bisa membantu menumbuhkan rasa ingin tahu anak melalui pertanyaan-pertanyaan memancing, ”Kenapa busa akan keluar dari air sabun yang dikocok? Kenapa bintang berkelap-kelip? Kenapa ½ lebih besar dari ¼ padahal 2 lebih kecil dari 4?

Ganti kalimat I wonder why dengan ”bagaimana ya...” dan kita bisa meminta anak-anak melanjutkan dengan berbagai potongan yang menarik, misalnya:
Bagaimana ya....agar kupu-kupu banyak beterbangan di sekitar rumahku?
Bagaimana ya...mengurangi sampah di rumah dan di sekolah?
Bagaimana ya....menjadi ketua dan anggota kelas yang adil?

Dengan cara-cara seperti ini, kita dapat mengembangkan pola belajar yang mengajak anak untuk berpikir ”out of the box”, tetapi tetap dalam konteks pelajaran yang ingin kita capai.

Tidak semua anak bisa kreatif. Anak yang pendiam dan pasif itu kan tidak kreatif?
Cari tahu minat anak tersebut. Bisa saja dia pasif dan pendiam, tapi sebetulnya dia seorang pelukis atau penulis yang hebat. Bukankah sekarang kita sering mendengar multiple intelligence? Beri kesempatan menjawab atau berpikir yang lebih lama pada anak-anak seperti ini. Yang sering terjadi baik di kelas maupun di rumah, karena kita sudah menganggap anak ini pendiam dan pasif, mereka kita lewatkan dalam banyak aktivitas. Hati-hati, karena diam-diam, kita telah ”membunuh” mereka dengan ”meniadakan” keberadaan mereka.

Kreatif kan cuma bisa di Sains. Bagaimana dengan pelajaran Sosial?
Cobalah dengan pelajaran yang dianggap hapalan dan paling membosankan – PPKn. Topik ”musyawarah” diajarkan di kelas 2 SD. Ajak mereka memilih sebuah topik yang relevan, misalnya, makanan kesukaan yang akan dipilih sebagai menu untuk piknik. Ajak mereka berdiskusi mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh makanan tersebut, misalnya, harga maksimal, gampang dibawa, sehat (ajar anak-anak memikirkan makanan sehat sejak dini!). Sesudah syarat-syarat disepakati, minta mereka menuliskan plihan mereka di sepotong kertas. Minta dua orang anak menjadi sukarelawan. Satu orang membaca hasil, satu orang lagi menulis di papan. Tentukan hasil ”pemilihan”. Dari sana, barulah membahas mengenai arti musyawarah itu sendiri dan tentang pentingnya menghargai pendapat orang lain.

Apakah ada buku atau film rujukan yang bisa dibaca?
Banyak! Tontonlah film ”Pippi the Long Stock” dan baca buku ”Toto Chan” (buku yang wajib dibaca guru dan siswa di banyak negara). Dalam film Pippi, dia sangat ingin menggambar kuda kesayangannya, tapi kertas gambarnya terlalu kecil. Papan tulispun tetap belum cukup besar. Sementara itu, guru Toto Chan mengajak semua siswa-siswinya berenang tanpa pakaian sama sekali, idih...., apa-apaan ini? Kok porno? Temukan jawabannya. Film dan buku itu menjadi contoh bagaimana belajar itu bisa kreatif, menyenangkan, sekaligus membentuk karakter tanpa harus kotbah berbusa-busa.

Allah tidak menciptakan kita dan anak-anak kita menjadi robot yang pintar. Dia ingin kita, yang serupa dan segambar dengan Sang Pencipta, menjadi ”innovators” dan bukan ”imitators”.
Selamat mendidik dengan kreatif. ** (WH)

(box)
yang KELIRU tentang BELAJAR KREATIF

(LANY: lihat tanda ”bullet kali” di bwh ini, bisa saja bentuk ’kali’ yg lain, tp idenya untuk menunjukkan maksud ”keliru”

Kreatif = anak tidak belajar
KELIRU karena: guru yang menyiapkan setiap pembelajaran kreatif yang benar justru harus berpikir jauh lebih matang karena metode itu harus (baca= wajib) bermakna dan memberikan pemahaman yang tidak akan terlupakan oleh si anak. Ketika anak diajak bermain ”Tebak Saya”, misalnya, sebetulnya anak tersebut sedang belajar merangkai pertanyaan dengan benar, mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan berdasarkan jawaban yang salah dan dengan demikian, belajar mendengar dan menyimak sehingga menghasilkan pola pikir yang kritis.

Kreatif = tidak tertib
KELIRU karena: tertib sangat mungkin dilakukan lewat cara-cara kreatif. Jika Anda guru, cobalah dengan beberapa peraturan sederhana yang bisa diikuti tanpa harus ”galak”. Di kelas, misalnya, kalau anak mau menjawab, ia harus mengangkat tangan lebih dahulu - tidak mengangkat tangan sambil menjawab. Dan guru pun tidak menunjuk anak yang langsung mengangkat tangan. Hanya yang kemudian ditunjuk yang dipersilakan menjawab.
Jika Anda orangtua, ijinkan anak bermain kotor-kotoran atau membongkar mainan yang ada. Tapi sesudahnya, jangan minta pembantu membereskan mainannya. Anak-anak sendirilah yang harus dibiasakan bertanggung jawab membereskan dan mengembalikan mainannya ke tempatnya. Masalahnya, sering kali kita yang tidak sabar, tidak mau, atau ”tidak punya waktu” untuk menjalankan pembiasaan ini dengan konsisten.

Kreatif = mahal
KELIRU karena: kertas-kertas koran dan dus-dus bekas bisa dipakai untuk banyak sekali mata pelajaran. Sinar matahari bisa dipakai untuk menerangkan konsep cahaya. Sepotong tali kasur bisa dipakai anak-anak untuk menemukan sendiri konsep π (pi) dalam lingkaran


Weilin Han, M.Sc. adalah Konsultan Sekolah dan Pelatih Guru I-Teach Education Training Center. Dapat dihubungi di weilinhan@yahoo.com

No comments: