Friday, January 30, 2009

Disiplin? Papa Mama dulu donggg.....!

Dalam tulisan yang lalu saya membahas mengenai kreativitas. Banyak yang berpendapat bahwa disiplin dan kreativitas itu saling bertolak-belakang. Kalau mau kreatif, jangan terlalu disiplin. Sebaliknya, kalau mau disiplin, ya ikuti saja aturan-aturan yang ada. Tidak perlu tampil beda! Sementara itu, kita mengakui sulit sekali mendidik anak-anak kita untuk disiplin saat ini.

Ada iklan menarik di TV yang menggambarkan Indonesia bebas sampah karena setiap satu orang Indonesia membiasakan diri memungut satu sampah dan membuangnya pada tempatnya. Lucu ya? Buang sampah saja sampai harus diiklankan. Memangnya, seberapa susah sih disiplin untuk tidak membuang bungkus permen/bekas minum di dalam angkot atau melalui jendela mobil?

Disiplin yang berhubungan dengan kegiatan sekolah anak-anak biasanya berkisar seputar anak lupa bawa buku, tidak membuat PR, atau menghilangkan alat-alat tulis dengan mudah. Banyak pasangan orang tua yang sibuk bekerja memilih mengalihkan tanggung jawab membimbing anak dengan membayar guru les untuk menemani anak belajar atau ”mbak” yang membereskan segala sesuatu untuk ”pangeran/putri” kecil kita.

Bagi si anak sendiri, masalah disiplin ini menjadi beban yang berat sekali: mesti bangun pagi untuk ke sekolah, di kelas tidak bisa menjadi diri sendiri dan harus taat pada guru, pulang sekolah harus les sampai malam, pulang ke rumah sudah capek, dan tidak punya teman. Akhirnya nonton atau main play station saja. Sudah begitu, masih diomeli lagi!

Jadi, bagaimana cara menerapkan disiplin dengan benar?

”Nanny 911” merupakan salah satu acara di sebuah stasiun TV yang menjadi favorit saya. Dalam reality show itu, sang “Nanny” membuat dan menerangkan peraturan-peraturan yang harus dijalankan oleh semua anggota keluarga dan alasan-alasannya – untuk membuat sebuah keluarga menjadi baik. Bila peraturan itu dilanggar, masing-masing anggota keluarga tahu apa yang menjadi konsekuensinya.

Inilah yang sangat jarang ada baik di keluarga maupun di sekolah. Ada peraturan, tapi tidak ada alasan dan konsekuensi logis. Yang biasanya ada hanyalah, ”pokoknya...!” Ketika kita ingin menerapkan disiplin pada anak, kita perlu menerangkan (dalam bahasa yang sederhana, tentunya), mengapa anak perlu disiplin dan apa yang menjadi akibat bila dia melanggarnya.

Sepasang orang tua menerangkan konsep disiplin dengan cara bila mereka tidak menyetujui permintaan anaknya, si anak boleh berargumentasi tanpa meledak-ledak. Bila sang anak tetap bersikeras sekalipun orang tua sudah mengatakan ”tidak” sebanyak tiga kali, anak diberi kebebasan untuk mengambil keputusannya sendiri dengan segala resikonya. Orangtua pun konsekuen dengan keputusan itu (misalnya, bila mengatakan ”pintu tidak akan dibukakan bila kamu pulang main lebih dari jam 7 malam”, maka bila anak terlambat pulang karena keenakan bermain, pintu betul-betul dikunci sampai beberapa jam). Hasilnya, anak itu bertumbuh menjadi seseorang yang tahu apa arti tanggung jawab dalam hidupnya.

Sedini apa disiplin bisa diajarkan kepada anak-anak?
Sedini mungkin. Sebuah playgroup meminta anak-anaknya membawa seprei, sarung guling dan bantal ke sekolah. Rupanya, anak-anak diajak belajar membereskan tempat tidurnya. Di usia playgroup mereka bisa belajar untuk menghabiskan makanannya sendiri tanpa disuapi orang dewasa. Mereka juga belajar untuk berbagi mainan dengan teman, dan membereskan mainan ke tempatnya masing-masing.

Disiplin yang dimulai dari hal-hal kecil justru berdampak bagi pembentukan anak ketika dewasa. Ketika anak-anak terbiasa bergantung pada pembantu, babysitter atau guru les, maka secara langsung para orang tua sedang menjadikan anak-anak mereka invalid.

Apakah mungkin mengajak anak kecil berdiskusi?
Sangat mungkin! Kitalah yang sering kali tidak sabar dan punya cukup waktu untuk mengajak anak berpikir dan berdiskusi. Padahal, pola berdiskusi ini juga akan membentuk anak untuk tidak egois dan memaksakan kehendak (kalau orang tua dan guru boleh memaksakan kehendak tanpa alasan yang saya ketahui, kenapa saya tidak boleh memaksakan kehendak saya?)

Apakah disiplin seperti ini mungkin dilakukan tanpa kekerasan?
Sangat mungkin! Disiplin tidak semata-mata masalah galak, kaku dan keteraturan tanpa warna. Pakailah kata-kata yang sederhana, tidak otoriter, dan pola diskusi dengan anak-anak kita. Dengan demikian, disiplin menjadi pembiasaan yang jauh dari kata-kata keras dan kasar, ataupun hukuman fisik. Yang diperlukan adalah konsistensi dan kegigihan dari orang tua, guru, dan sekolah. Biasanya kita gagal karena kita tidak mau tekun dan ingin melihat hasil yang instan.

Hal apa yang harus dilakukan oleh orangtua secara khusus?
Menjadi contoh. Misalnya, anak kita susah makan sayur. Maunya makanan instan atau burger dan ayam goreng penuh dengan lemak jenuh di luar. Sebelum kita mengeluh, perhatikan pola makan kita sendiri. Dan apakah kita rajin mengajak anak-anak mengkonsumsi makanan sehat bersama-sama baik di dalam rumah, atau ketika sedang jalan-jalan? Seorang anak protes mengapa dia harus membereskan piring kotor dengan mengatakan, ”Mama sendiri minta pembantu yang beresin!”
Ingin anak Anda sukses? Mulailah dengan disiplin yang sehat dari rumah Anda sendiri.**(WH)

Buku apa yang bisa membantu saya lebih mengerti mengenai disiplin secara positif?

Coba baca ”Educating for Character – How Our Schools can Teach Respect and Responsibility” dan “Raising Good Children” karangan Thomas Lickona.



Weilin Han, M.Sc. adalah Konsultan Sekolah dan Pelatih Guru I-Teach Education Training Center. Dapat dihubungi di weilinhan@yahoo.com

1 comment:

Wey said...

Bravo ibu Wei.......nanny 911 it's ok......setuuuuuujjjjjuuuuuuu
wah.....wah......wey jadi ingat setiap pembelajaran dari ibu wei saaat pelatihan.......uhuhuhuhu...
kapan ibu wei ke Ambon lagiiii...???