Dan Es Campurku pun Lumer….

Dalam pelatihan beberapa waktu yang lalu, ada kejadian menarik. Saya ingin mengajak guru-guru yang saya latih untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan penyaringan air. Untuk itu, saya ke pasar mencari bahan-bahan gratis dan/atau murah yang bisa dipakai. Salah satu gratisan yang saya minta adalah “damen” atau sejenis ilalang kering yang biasa dipakai untuk ganjal/alas buah-buahan. Karena jumlahnya cukup banyak, damen yang saya bawapun mencuat keluar tas yang dipakai.

Sebelum pulang ke tempat penginapan, saya mampir di tukang es campur. Oh ya, lokasi antara sekolah, tempat penginapan, dan tukang es campur itu berdekatan satu dengan lainnya. Waktu Pak Ndut (sebutan sang penjual es) menyajikan es campur nan lezat itu, dia sangat tertarik melihat damen yang saya bawa. Bagi dia, aneh sekali, kok ya ada orang yang mau mengumpulkan “sampah”.

Mulailah dia bertanya-tanya apa yang akan saya lakukan dengan damen itu. Ketika saya menjelaskan bahwa saya akan melakukan aktivitas penyaringan air bersama guru-guru, sehingga nantinya, diharapkan pembelajaran siswa bisa kontekstual dan konstruktif, dia makin tertarik. Sampai-sampai, ada pertanyaan: “ibu seorang peneliti ya?”. Dimana saja Ibu sudah melakukan percobaan ini? Kenapa Ibu pake damen? Bagaimana kalau dengan….? Apakah guru-guru sendiri sudah mengajak para siswanya melakukan aktivitas-aktivitas serupa? Waaaah…, pertanyaannya buanyak sekali, bertubi-tubi, dan sangat kritis.

Pak Ndut cuma berhenti bertanya pada waktu ada pembeli lainnya datang. Tapi, begitu dia selesai melayani, dia kembali lagi melakukan wawancara…

Saya lamaaaaa terdiam…. Bukan merasa terganggu. Tapi duuuuuuuh…., seandainya saja Pak Ndut menjadi peserta latih saya, mungkin dia akan bisa memberi contoh pada guru-guru peserta latih. Kalo saja guru-guru yang saya latih mau melakukan pengamatan jeli seperti Pak Ndut lakukan… Kalo saja guru-guru membiasakan siswa-siswinya melakukan pengamatan jeli…. Kalo saja…..

Dan es campurku pun lumer…