Saturday, April 11, 2009

Hasil Survey Kriteria Pemilihan Sekolah

Beberapa waktu yang lalu saya meminta teman2 untuk memberikan masukan mengenai 7 kriteria dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya. Dalam memilih kriteria tersebut, mereka tidak boleh menyebutkan biaya dan sdm sebagai salah dua kriteria .

Saya menanyakannya via sms, email dan facebook. Ada sekitar 70 an teman yang dengan suka rela membalas (pahala Anda terlihat dalam tulisan di bawah ini. Terima kasih buaaanyaaaaakkkk). Mereka datang dari pelbagai latar belakang, baik secara sara, usia, latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Yg pasti, mereka bukan jomblo seperti saya. Soalnya, kalo yg jomblo diminta masukan juga, masukannya mengawang-awang, hehehe…

Semoga lain kali Anda tetap bersedia membalas pertanyaan-pertanyaan saya, sehingga hasilnya bisa dibagi bersama lagi… (saya udah nanya lagi sih. Apa arti cerdas. Silahkan balas di facebook).

Dari hasil nanya-nanya itu.., ternyata
1.48 orang tetap berpikir fasilitas yang memadai menjadi pilihan utama dalam memilih sekolah. Untuk teman2 yang memilih kriteria ini, mohon dengan sangat untuk memperhatikan apakah the “men/women behind the gun”nya sesuai tidak. Saya selalu memakai diri saya sendiri sbg contoh pas dlm hal ini. Saya sengaja menggunakan handphone yg “ga trendy”. Kalopun ada kamera, itu karena handphone ini hibah dr adik saya. Dia bilang, malu kalo kakaknya pake handphone yg terlalu jadul. Saya merasa bhw kalaupun saya diberi handphone yang cuaaaangggih luar biasa, apakah kemudian saya mahir menggunakannya dan menggunakannya secara efektif, tepat dan benar?

Ada seorang teman yang dengan bangga memperlihatkan blackberrynya yang baru. Tapi, yaa…, tetep aja, dia pake itu cuma sekedar buat sms-an and email2an, yang bukan bersifat urgent dan/atau esensial. Lhaaa…, kalo gitu mah.., handphone gue juga bisa, bung!! Hahaha…

Ada banyak kejadian lucu yang saya temui dimana sekolahnya udah wifi sementara gurunya, pake internet aja kaga bisa sama sekaleee… Jangan kata pake internet, ngetik di kompi aja masih tergagap-gagap.

2.47 orang merasa bahwa lokasi dan jarak sekolah dari tempat tinggal sangat menentukan pemilihan sekolah. Seseorang bahkan begitu yakin bahwa jarak menjadi prioritas yang paling utama. Apalagi, kalau anaknya masih kecil/SD. Dia katakan, kasihan anaknya bila harus berangkat ke sekolah pada waktu hari masih subuh, dan kembali ke rumah pada waktu matahari sudah terbenam. Apalagi bila anak itu tidak mempunyai kendaraan pribadi dan harus menggunakan angkutan umum. Orang itu juga mengatakan bahwa dengan adanya sekolah yang dekat rumah, orang tuapun akan lebih mudah mengawasi. Mungkin saja, anaknya pun bisa berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Jadi, bisa menumbuhkan kemandirian anak. Kalau sudah SMP/A, itu lain cerita, katanya.

3.Kualitas, Referensi, Reputasi sekolah menduduki urutan ketiga dengan jumlah pemilih 38 orang (hahaha.., kaya pemilu aja ya, bahasanya). Para ortu ini berpendapat bahwa sekolah2 ini telah membuktikan track-recordnya – baik dari segi jumlah kelulusan, nilai kelulusan dan jumlah yg meneruskan di universitas terkenal. Ada benarnya. Ketika saya berkenalan dengan seseorang, dan kemudian saya mengetahui asal sekolahnya, biasanya, sudah langsung ada persepsi yang muncul – oh, sekolah yg anak2nya kaca mata tebel semua. Atau, ooh.., itu mah sekolah anak2 yg ga naek di sana sini, kemudian pindah ke sana. Atau.., oooh.., itu mah sekolah anak2 kolong, dsb. Mau tidak mau, sama seperti perusahaan,sekolahpun membentuk image tersendiri di masyarakat.

Sayangnya, ketika image itu terbentuk secara positif, seringkali sekolah menjadi lupa untuk berkembang. Akhirnya, sekolah terperosok dalam bayangan “glory of the past”. Sekolahku masih laku, kok. Orang masih ngantri, kok. Kenapa aku harus berubah. Kira-kira begitu. Atau.., ketika sekolahnya menjadi tidak laku, mereka akan menyalahkan faktor2 luar seperti lokasi yang tidak strategis lah…, para orang tua yang tidak setia terhadap almamater lah, dll, dsb, dst, hehehehe..

Ketika image terbentuk negative, yaa…., apa boleh buat, sekolah itu memang perlu ekstra kerja keras membangun citra yang baru. Dan harus konsisten dengan keinginan berubah untuk menjadi lebih baik. Sejak saya masih kecil, orang2 mengenal saya sebagai cewe tomboy. Yaaa…, biarpun sekarang udah suangat juauuuh berubah dan menjadi feminine, tetep ajaaaa…. (hah? Weilin? Feminine? Hahahaha…..)

4.Dengan maraknya tawuran, ancaman penculikan, bahkan peredaran narkoba yang begitu mudah, sementara kekuatan polisi yang sangat terbatas, maka lingkungan yang aman dan bersihpun menjadi prioritas orang tua selanjutnya. Mereka ingin memastikan bahwa anak-anak mereka tidak bergaul dengan “anak2 nakal”. Atau, mereka memilih sekolah yang tidak eklusif baik secara status sosial, etnis maupun agama.

Dalam kriteria lingkungan ini, mereka juga menyampaikan sekolah impian mereka yang mudah dijangkau angkot, tapi juga, tidak terletak persis dekat keramaian masyarakat yang dapat menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan (misalnya, jalur angkot yang terlalu padat, daerah pabrik yang terlalu banyak polusinya, atau, dekat dengan daerah tawuran).

Khusus untuk pergaulan yg “aman”, saya sangat menyarankan anda untuk mencari tahu mengenai “hikikomori”. Penderita hikikomori biasanya “anak2 alim”. Apa itu? Silahkan cari tahu dulu sendiri yaaaa (khan orang tua juga perlu belajar mandiri, tanpa dicekoki, hahaha).

5.Sekuler/Agama. Ada banyak sekolah yang dibangun berdasarkan agama tertentu karena:
a)Panggilan sosial mereka untuk berkontribusi terhadap Negara dalam dunia pendidikan
b)Kebutuhan orang tua untuk menitipkan anak-anak mereka dibentuk dalam nilai-nilai tertentu.

(no 2) Para orang tua ini merasa bahwa ketika anak dibentuk baik di rumah, maupun di sekolah (bersama para guru) dan dengan teman2 dari yang “seagama”, diharapkan mereka juga bisa bertumbuh imannya.

Saya ingin menambahkannya dengan kriteria lain yg juga dipilih oleh 13 teman, yaitu pembentukan karakter. Mereka mengharapkan bahwa di sekolah-sekolah berlatar belakang agama ini, karakter anak-anak mereka (yang positif) tentunya, bisa lebih terbentuk.

Saya sendiri, ya setuju-setuju saja. SEMOGGAAAA sekolah2 dengan latar belakang agama ini (yang usianya sudah ada sejak jaman kuda gigit besi di kerajaan Kediri ini) mampu menghasilkan warga Negara yang menjadikan Indonesia gemah ripah loh jinawi. Dan bukan meneruskan generasi para koruptor, pembabat hutan, perampok pertambangan, pencemar sungai dengan limbah berat, pembungkam demokrasi, pembodoh bangsa sendiri (dan bukan penyindir sinis seperti saya, eitsss…, hehehe).

6.Kurikulum. Bagi orang tua, mereka ingin mencari sekolah yang mampu menyediakan kurikulum yang membuat anak-anaknya mampu bersaing secara global. Khusus untuk Kurikulum ini, silahkan baca tulisan saya dengan judul Anakku Sebaiknya Masuk Sekolah Mana. Semoga para ortu tidak terkecoh dengan pelabelan-pelabelan yang memukau, tanpa ada kejelasan isi.

7.Metode. Banyak ortu yang mencampur baurkan antara metode dengan kurikulum. Mereka mencari kurikulum yang inter-aktif dengan metode Negara tertentu, misalnya. Ini pemahaman yang terbalik. Secara sederhana, kurikulum itu dapat diibaratkan masakan tertentu. Misalnya saja, gado-gado (karena saya suka sekali gado-gado). Sedangkan, metode itu, adalah cara meracik gado-gado itu sendiri. Jadi, Kurikulum is the beef in the burger itself, while the method is how you cook and serve the burger. Kalo Anda beli gado-gado, tapi dikasih rawon,ya..,yg jual keliru. Kalo anda beli burger, biarpun kemasannya cuantik, tapi ga ada daging di tengahnya…, ya itu burger vegetarian. Hahahaha…

Bila Anda tertarik lebih jauh, silahkan membaca juga tulisan saya dengan judul “Ayo Belajar dong, Nak”

8.Yang terakhir, adalah penggunaan bahasa asing sebagai instruksi pembelajaran di kelas. Entah “bilingual2an”, “trilingual2an”, ataupun bahasa daerah. Saya sendiri orang yang sangat mempercayai bahwa pengembangan bahasa sangat terkait erat dengan pembentukan pola pikir. Teman-teman Islam sangat menekankan Iqro. Kristus, sang Mesias, jelas menggunakan bahasa dalam mengungkapkan kedalaman arti tertentu. Karena itulah kita mengenal Agape love yang jelas-jelas berbeda dengan filial atau eros. Tapiiiiiii…, saya juga sangat sedih ketika sebuah sekolah berani menjual konsep penggunaan bahasa asing dalam instruksi pembelajaran, tanpa memperlengkapi para gurunya dengan benar (sekali lagi, the people behind the gun). Contoh yang suaaaangggaat gampang sekali: karena saya mampu berbahasa Inggris, saya akan mengajarkan bilangan loncat (matematika, kelas 1 SD) dengan istilah “jumping numbers”. Benar khan? Loncat = jumping, bilangan = numbers. Nilai saya 100 kan? Aduuuh…, teman-teman…, dalam konsep matematika yang menggunakan bahasa Inggris, tidak ada istilah jumping numbers. Yang ada adalah “skipping”. Gethooo lhoooo. Terserah deh apakah anda berpikir hal ini masalah atau tidak masalah.

PESAN TERAKHIR (maksudnya, dari tulisan ini, bukan wasiat saya…):
1.Seideal apapun Anda memilih sekolah, tidak ada sekolah yang ideal
2.Seideal apapun sekolah yang Anda pilih, anak Anda adalah tanggung jawab Anda. Bukan tanggung jawab sekolah.

Jadilah orang tua yang baik. Jadilah guru idaman anak Anda.

Sampai bertemu lagi di hasil survey selanjutnya..

Wei

3 comments:

Irwan Jo said...

Wei,Excellent survey. Interesting sekali ya ternyata fasilitas itu mencokol di posisi pertama. Bagaimana jadinya kalau sekolah itu penuh dengan fasilitas tapi kurikulum/metoda pengajarannya amburadul? Apakah orang tua akan tetap memilih sekolah ini? Mungkin saja orang tua disini mempunyai asumsi bahwa sekolah yang penuh dengan fasilitas tentu akan mempunyai fasilitas pengajaran yg baik. Apakah begitu adanya? Karena keliatannya metoda dan kurikulum ada di peringkat yg cukup bontot.

Anonymous said...

Wow!? Fasilitas? Lucu juga ya? Yah, itu mungkin perspektif orang tua toh? Kami pernah datang ke SDN 012 Benhil (sekolah Adiwiyata-berwawasan lingkungan)...sekolah ini 'green' banget! Menurut kepsek-nya kemajuan sekolahnya itu datang dari 40%'policy and leadership' sekolah, 30%'kurikulum', 20%'partisipasi' dan 10% 'dana dan fasilitas'. Fasilitas di nomer buntut. Hehehe...hampir kebalikan dari hasil survey ini ya?! Unik!

Stay Super Wei!
Adit suaminya Dewi
http://kekalbelajar.wordpress.com/2009/04/23/school-partnership-turning-parents-into-ambassadors/

Yohanes Moeljadi Pranata said...

Aku heran WEI, kenapa ga muncul 'iniovasi' sbg salah satu faktor sklh yg baik ya?! Jk semua sekolah rata2 sdh bagus2 - mungkin 'inovasi' baru dipandang penting ya..!